Rabu, 05 Mei 2010

Jamkesmas Belum Maksimal



Upaya pemerintah untuk mengangkat derajat hidup masyarakat sebagaimana diamanatkan UUD RI 1945, diwujudkan dengan berbagai program yang dikawal banyak produk hukumnya. Salah satu hajat hidup paling esensial masyarakat adalah jaminan kesehatan. Kecenderungan meningkatnya biaya pemeliharaan kesehatan menyulitkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. Terutama apabila pembiayaannya harus ditanggung sendiri (out of pocket) dalam sistim tunai (fee for service).

Dengan adanya program JPS yang terakhir ini diimplementasikan berbentuk Jamkesmas, masyarakat merasakan bahwa kepedulian pemerintah terhadap kesehatan rakyat miskin jauh lebih baik ketimbang sebelum masa reformasi. Namun, adakah Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) yang didanai dari APBD masing-masing daerah kabupaten/kota tersebut sudah maksimal memenuhi kriteria pelayanan yang ditetapkan?

Belum, bahkan jauh dari tujuan utama dilaksanakannya program ini, yakni untuk meningkatkan angka harapan hidup manusia Indonesia. Terlebih lagi untuk daerah tertinggal seperti Trenggalek. Alasan klise dari setiap pemerintah daerah adalah karena keterbatasan anggaran yang dialokasikan untuk Jamkesmas.

Puluhan kasus terjadi yang diekspos oleh media massa, dan lebih banyak lagi yang tidak tercover ke permukaan, kasus tidak manusiawi yang dialami rakyat miskin saat mereka sungguh-sungguh sangat membutuhkan pelayanan kesehatan.

Solikin, seorang warga Kelutan, Kecamatan Trenggalek, menderita tumor, dan menjalani pengobatan mulai dari PUSKESMAS, dirujuk ke RSUD Sudomo, dirujuk ke RSU Gambiran (Kediri) lantas karena harus dioperasi maka dirujuk lagi ke RSU Karangmenjangan (Surabaya). Prosedur pelayanan administrasinya sudah sesuai dengan aturan. Hanya sayang, ketika yang bersangkutan sampai di RSU rujukan ternyata mereka dianggap pasien kelas “pitulikur”, yang artinya harus terlunta-lunta menanti giliran penanganan medis dengan fasilitas “tunggu” yang ditanggung sendiri.

Solikin dan keluarganya, pulang pergi Trenggalek-Kediri, Trenggalek-Surabaya, berkali-kali, namun jadwal penanganan operasinya terkesan diulur-ulur. Hingga pada akhirnya empat bulan usai mendaftarkan rujukan di Karangmenjangan (dan mendapatkan giliran penanganan medis nomor urut di atas limaratus!), Solikin meninggal dunia akibat penyakit tumor yang dideritanya. Bayangkan!

Suwignyo, warga desa Sukowetan RT 27, Kecamatan Karangan, mengalami nasib menderita sakit yang menurutnya dokter tidak dapat mendiagnosa jenis penyakitnya itu. Lelaki kelahiran 1965 ini, adalah pekerja serabutan. Semasa sehatnya dia harus banting tulang untuk menghidupi keluarganya (dua anak lelaki dan seorang isteri). Namun kini, dia terpaksa harus “nerima” hidup sebagai laki-laki tak berguna.

Awal sakitnya, disebabkan terjatuh lalu keseleo ketika mengangkat bunga di pasar bunga Surabaya tempatnya bekerja sebagai kuli angkut. Peristiwa itu terjadi pada tahun 2007 silam. Dikira cuma keseleo bisaa, kakinya lalu dipijatkan pada dukun urut. Tapi ternyata tak kunjung sembuh, justru makin parah dan dia tak bisa lagi berjalan dengan sempurna.

Suwignyo termasuk kategori Gakin (Keluarga Miskin), “wajib” menerima kartu kuning (istilah masyarakat desa menyebut kartu jaminan kesehatan sebelum diganti Jamkesmas). Berbekal kartu itu yang seingat saya diuruskan oleh Mas Toni Saputra (sang mbaurekso Blog Trenggalek Sastra), ia berobat ke PUSKESMAS Karangan beberapa kali. Dan Selanjutnya, oleh pihak PUSKESMAS dirujuk ke RSUD Sudomo Trenggalek.

“Nanging dokter Nggalek boten saged mawastani sakit kula menika napa,” katanya pada CahNdeso yang artinya : Tapi dokter Trenggalek tidak bisa menyebut sakit saya ini apa.

Dari rumah RSUD Sudomo, awal 2009 lalu Suwignyo diberi rujukan agar berobat ke Surabaya, di RSU Karangmenjangan. Tetapi karena ketiadaan biaya, keluarganya memutuskan untuk tidak berangkat ke Surabaya, dan memilih sekali-sekali berobat di PUSKESMAS.

Kondisi ekonomi Suwignyo, sungguh-sungguh memprihatinkan. Di rumahnya yang berlantai tanah, tiada satu pun barang berharga. Sepeda “onthel” saja pun dia tidak punya. Tidak ada almari pakaian, tidak ada kursi tamu, tidak ada tempat tidur. Bukan karena dia malas kerja, namun hasil kerjanya selama dia sehat dulu hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari dan membiayai pendidikan 2 anaknya.




Sakit yang dideritanya berbuntut pada ketidaksanggupannya untuk menafkahi keluarga. Arik (15 tahun) anak pertamanya, terpaksa harus berhenti sekolah dan merantau ke Surabaya menjadi kuli bangunan. Isterinya pun sekarang juga ada di Surabaya menjadi pembantu rumah tangga dengan penghasilan yang hanya cukup untuk membiayai hidup anak yang nomor dua dan biaya sekolah di SDN 2 Sukowetan.

Sementara Suwignyo sendiri, mengungsi pulang ke rumah orang tuanya di desa Kedungsigit (juga Kecamatan Karangan). Hidup menjadi beban orang tuanya, padahal bapak dan si-mboknya juga miskin lagi papa! Isi rumah orang tuanya tidak kalah dengan yang dimiliki Suwignyo. Tidak ada satu pun benda bernilai di atas limaratus ribu rupiah!

Itulah sebabnya mengapa Suwignyo pasrah untuk tidak berobat ke RSU Karangmenjangan Surabaya dengan senjata rujukan Jamkesmas. Dia kini tergolek di tempat tidurnya, dan sesekali dia memaksakan diri untuk duduk atau bolak-balik MCK (mandi dan buang air) ke “pawon” (dapur) dengan mengandalkan bangku roda.

Saya sebut bangku roda, karena pengganti kursi roda, oleh bapaknya dibuatkan sebuah bangku dengan kaki yang diberi roda sehingga bisa dipakai Suwignyo untuk bolak-balik di dalam rumah.

Saya lihat, kedua pergelangan kaki Suwignyo mengecil, lututnya membengkak, Tulang tempurung lututnya sudah berpindah posisi. Semula, yang keseleo hanya kaki kanan, sekarang kaki kirinya tampak solider juga membengkak. Mungkin ini disebabkan, waktu masih belum tertular sering dipakai menopang berat tubuhnya.

Bagian lutut Suwignyo yang bengkak mengeluarkan nanah-merah. Sesekali dia mengelap lelehan nanah dengan kain lap yang disediakan oleh orang tuanya. Ketika kutanya, apakah dia masih rutin ke PUSKESMAS, jawabnya masih.

Masyaallah…. saya trenyuh. Ada genangan air mata di pelupuk mata saya. Sementara isteri saya yang menyertai saya menjengok Suwignyo berusaha menghibur Suwignyo dan si-mbok.



Suwignyo kini tidak bisa lagi mencari nafkah. Kedua kakinya tidak mampu menopang tubuhnya. Bila kita lihat kondisi badannya, dia nampak sehat. Menurut saya, kedua kaki Suwignyo masih bisa sembuh, saya yakin. Andai kata saya seorang yang kaya raya… atau punya simpanan uang atau punya harta berlebih, Insyaallah saya akan dermakan untuk dia berobat.

Suwignyo tidak seberuntung M. Ramdhan Aldiel yang memperoleh bantuan dari berbagai sudut, bahkan Cabup Mulyadi WR pun peduli pada Ramdhan. Sakitnya Suwignyo berdampak pada masa depan kedua anaknya. Ooo …h..betapa sakitnya hati ini, bila mengingat bahwa Jamkesmas hanya memberikan pelayanan maksimal pada prosedur administrasi belaka.

“Sabar ya, Mas. Dan tetaplah percaya diri bahwa penyakit panjenengan ini suatu saat nanti akan sembuh,” kataku menghibur sewaktu mau pulang.

Saya berdoa, semoga ada warga berduwit yang mau memberikan pertolongan pada keluarga Suwignyo. Menyembuhkan Suwignyo, berarti memberikan masa depan bagi kedua anak laki-lakinya untuk bisa menjadi generasi yang berpendidikan dan berguna bagi hidupnya dan keluarga.

Suwignyo merupakan potret keluarga miskin yang memang layak menerima Jamkesmas. Tapi terpaksa tidak bisa menikmati dana Jamkesmas dengan maksimal akibat kepapaannya yang tak memiliki biaya “riwa-riwi” dan ongkos “tunggu” di rumah sakit.

1 komentar:

  • Obat Radang Usus says:
    22 April 2013 pukul 08.22

    semoga pelayanan kesehatan bagi warga yang kurang mampu dapat lebih diperhatikan pemerintah .

Posting Komentar

TULIS KELUHAN ANDA DI SINI