Goenawan Mohammad, salah seorang budayawan yang paling saya kagumi dalam beberapa dekade ini. Selain sebagai penulis, dia juga menjadi tulang punggung bahkan menurut saya "icon" utama dari majalah "Tempo". Hampir setiap baca "tempo", saya mesti lebih dahulu mencari halaman "Catatan Pinggir" yang ditulisnya.
Jatuh bangunnya "Tempo" dan Jawa Pos tidak lepas dari "kesaktian" Goenawan Mohammad. Tempo yang kritis dan merakyat, adalah wujud idealisme jurnalistik yang senantiasa dikukuhi oleh Goenawan Mohammad. Awal 1980-an, Jawa Pos ambrug lalu dibeli oleh koran Tempo, kemudian dinakhodai oleh Dahlan Iskan. Jawa Pos terus meningkat pesat, hingga tahun 1990-an memiliki "Seven-Rad" di tujuh kota, dan sekarang menjadi koran Nasional dengan Radar-nya merambah ke seluruh pelosok Nusantara. Dahlan Iskan dan Goenawan Mohammad memang sahabat karib semenjak Dahlan Iskan menjadi koresponden Tempo di Pontianak.
Usai Maghrib tadi, saya lihat di televisi, Goenawan Mohammad memberikan keterangan pers. Saya tertarik, ada apakah ini? Sebab, Goenawan Mohammad selama ini tidak pernah mencari sensasi dan dia memang tak suka dengan sesansi. Lihatlah, dia selalu tampil dengan sangat bersahaja, sederhana dan "low profil". Biasanya, bila dia sudah angkat bicara di muka umum, tentu ada sesuatu yang tidak sesuai dengan idealismenya, yakni sesuatu yang bertentangan dengan suara hati nurani rakyat jelata, utamanya hati nurani insan pers.
Ternyata, benar adanya! Dalam siaran pers yang tayang dalam bentuk berita singkat di telivisi itu, saya menangkap intinya, yakni: setelah empat tahun berselang, Budayawan Goenawan Mohammad mengembalikan penghargaan Bakrie Award yang diterimanya pada tahun 2004. Menurut Goenawan Mohammad penghargaan itu sudah dikembalikan 21 Juni lalu, melalui Freedom Institut, lembaga yang memberikan penghargaan tersebut.
Dalam keterangan persnya, Goenawan Mohammad menjelaskan yang menjadi pertimbangan dirinya mngembalikan award yang didanai pengusaha dan politisi Aburizal Bakrie tersebut adalah adanya akumulasi kekecewaan. Terutama, terhadap penanganan kasus lumpur Lapindo hingga mundurnya Sri Mulyani Indrawati dari menteri keuangan.
"Saya baca dan saya cek semua orang, memang tak ada kesalahan. Selama di Pansus kan kelihatan sekali,” ujar Goenawan Mohammad di Kompeks Komunitas Utan Kayu Jakarta Timur usai menggelar konferensi pers terkait pengembalian Bakrie Award oleh dirinya (22/6) seperti dikutip JPNN. Dan, kekecewaan Goenawan Mohammad pun memuncak saat pengusaha yang akrab disapa Ical tersebut menyatakan tidak bersalah dalam berbagai kasus yang ditudingkan padanya. “Klimaksnya tadi sudah saya bilang waktu dia mengatakan saya tidak merasa bersalah,” katanya.
Dalam surat yang ditujukan ke Freedom Insitute menyangkut pengembalian award itu, Goenawan secara tegas menulis bahwa dirinya tak dapat meredakan rasa kecewanya terhadap Aburizal Bakrie. Meski demikian, Goenawan Mohammad menyatakan bahwa dirinya sempat berusaha memisahkan Bakrie Award dari apa yang dijalankan Aburizal Bakrie sebagai tokoh bisnis dan tokoh politik.
Goenawan Mohammad mengaku butuh waktu empat bulan untuk mempertimbangkan sebelum akhirnya memutuskan untuk mengembalikan award itu. Selain piala, Goenawan Mohammad juga mengembalikan uang penghargaan yang jika diakumulasikan berikut bunganya mencapai angka Rp 154 Juta. “Jangan coba-coba menutupi yang borok dengan kebaikan,” tukasnya.
Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengaku menerima keputusan Goenawan Mohammad terkait pengembalian penghargaan yang diterimanya pada tahun 2004 lalu. Pihak Ical memandang pengembalian penghargaan bahkan bisa menjadi ajang promosi untuk mempopulerkan Bakrie Award.
Sementara melalui juru bicaranya Lalu Mara, Aburizal Bakri menyatakan menghormati sikap Goenawan Mohammad tersebut. "Itu merupakan kebebasan individu untuk mengambil sikap. Kita pasti ada sepakat untuk tidak sepakat. Pak Ical menghormati," kata Lalu.
Terkait dengan Sri Mulyani, Lalu membantah tudingan bahwa Ical ada dibalik pengunduran diri Sri Mulyani dari menteri Keuangan."Terkait Sri Mulyani, dari dulu Pak Ical selalu katakan tidak ada masalah. Kakaknya Bu Sri Mulyani staf ahli Pak Ical waktu di Menko Kesra. Cara pandang beda itu biasa," sahutnya.
Awas, Doa Korban Lapindo Mujarab!
Masalah lumpur Lapindo adalah derita rakyat jelata yang hingga kini masih belum tuntas. Ratusan Kepala Keluarga nasibnya masih terkatung-katung. Mereka adalah warga negara Indonesia yang kini harus hidup dalam kesengsaraan bathin maupun lahir. Siapa yang seharusnya bertanggungjawab pada nasib para korban tersebut?
Goenawan Mohammad ternyata sangat peduli pada mereka. Investigasi Tempo, artikel-artikel yang dimuat, dan sentilan tajam "Catatan Pinggir"-nya menohok tepat ke jantung para penanggungjawab kasus lumpur Lapindo. Sebuah perjuangan insan pers dan para penulis artikel yang idealis dan peduli rakyat tertindas, terakumulasi dengan jelas di sini.
Tersingkirnya Sri Mulyani, sang Kampiun Putri Indonesia masa kini dari Kabinet Indonesia Bersatu, juga merupakan alasan Goenawan Mohammad mengembalikan Bakrie Award. Siapa pun tahu, atau paling tidak menduga-duga, bahwa dalang dibalik semua itu adalah Abu Rizal Bakrie sang pengusaha yang politikus. Goenawan Mohammad, tidak akan segampang itu menuding, kecuali bila ditangannya sudah ada bukti-bukti yang didukung fakta.
Terlebih lagi, upaya Abu Rizal Bakrie untuk melemparkan kesalahan perpajakan yang "digembol"-nya kepada bawahannya; telah membuat Goenawan Mohammad memberikan yang terbaik bagi Ibu Pertiwi yakni: mengembalikan penghargaan yang dia peroleh dari lembaga yang dinaungi Abu Rizal Bakrie. Tidak tanggung-tanggung, bukan sekedar piagam dan trophy yang dikembalikan, namun juga lengkap dengan rupiah yang pernah dia terima masih ditambah lagi dengan bunganya, senilai total lebih dari Rp 154 Juta.
Barangkali, langkah positif dan berani dari Goenawan Mohammad ini akan menjadi titian awal datangnya musibah bagi para penanggungjawab bencana lumpur Lapindo. Tuhan tidak pernah mengingkari janji-Nya. Dia akan mengabulkan doa orang yang teraniaya. Selain para korban Lapindo, Sri Mulyani Indrawati mantan Menteri Keuangan kita juga termasuk orang yang teraniaya.
Jatuh bangunnya "Tempo" dan Jawa Pos tidak lepas dari "kesaktian" Goenawan Mohammad. Tempo yang kritis dan merakyat, adalah wujud idealisme jurnalistik yang senantiasa dikukuhi oleh Goenawan Mohammad. Awal 1980-an, Jawa Pos ambrug lalu dibeli oleh koran Tempo, kemudian dinakhodai oleh Dahlan Iskan. Jawa Pos terus meningkat pesat, hingga tahun 1990-an memiliki "Seven-Rad" di tujuh kota, dan sekarang menjadi koran Nasional dengan Radar-nya merambah ke seluruh pelosok Nusantara. Dahlan Iskan dan Goenawan Mohammad memang sahabat karib semenjak Dahlan Iskan menjadi koresponden Tempo di Pontianak.
Usai Maghrib tadi, saya lihat di televisi, Goenawan Mohammad memberikan keterangan pers. Saya tertarik, ada apakah ini? Sebab, Goenawan Mohammad selama ini tidak pernah mencari sensasi dan dia memang tak suka dengan sesansi. Lihatlah, dia selalu tampil dengan sangat bersahaja, sederhana dan "low profil". Biasanya, bila dia sudah angkat bicara di muka umum, tentu ada sesuatu yang tidak sesuai dengan idealismenya, yakni sesuatu yang bertentangan dengan suara hati nurani rakyat jelata, utamanya hati nurani insan pers.
Ternyata, benar adanya! Dalam siaran pers yang tayang dalam bentuk berita singkat di telivisi itu, saya menangkap intinya, yakni: setelah empat tahun berselang, Budayawan Goenawan Mohammad mengembalikan penghargaan Bakrie Award yang diterimanya pada tahun 2004. Menurut Goenawan Mohammad penghargaan itu sudah dikembalikan 21 Juni lalu, melalui Freedom Institut, lembaga yang memberikan penghargaan tersebut.
Dalam keterangan persnya, Goenawan Mohammad menjelaskan yang menjadi pertimbangan dirinya mngembalikan award yang didanai pengusaha dan politisi Aburizal Bakrie tersebut adalah adanya akumulasi kekecewaan. Terutama, terhadap penanganan kasus lumpur Lapindo hingga mundurnya Sri Mulyani Indrawati dari menteri keuangan.
"Saya baca dan saya cek semua orang, memang tak ada kesalahan. Selama di Pansus kan kelihatan sekali,” ujar Goenawan Mohammad di Kompeks Komunitas Utan Kayu Jakarta Timur usai menggelar konferensi pers terkait pengembalian Bakrie Award oleh dirinya (22/6) seperti dikutip JPNN. Dan, kekecewaan Goenawan Mohammad pun memuncak saat pengusaha yang akrab disapa Ical tersebut menyatakan tidak bersalah dalam berbagai kasus yang ditudingkan padanya. “Klimaksnya tadi sudah saya bilang waktu dia mengatakan saya tidak merasa bersalah,” katanya.
Dalam surat yang ditujukan ke Freedom Insitute menyangkut pengembalian award itu, Goenawan secara tegas menulis bahwa dirinya tak dapat meredakan rasa kecewanya terhadap Aburizal Bakrie. Meski demikian, Goenawan Mohammad menyatakan bahwa dirinya sempat berusaha memisahkan Bakrie Award dari apa yang dijalankan Aburizal Bakrie sebagai tokoh bisnis dan tokoh politik.
Goenawan Mohammad mengaku butuh waktu empat bulan untuk mempertimbangkan sebelum akhirnya memutuskan untuk mengembalikan award itu. Selain piala, Goenawan Mohammad juga mengembalikan uang penghargaan yang jika diakumulasikan berikut bunganya mencapai angka Rp 154 Juta. “Jangan coba-coba menutupi yang borok dengan kebaikan,” tukasnya.
Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengaku menerima keputusan Goenawan Mohammad terkait pengembalian penghargaan yang diterimanya pada tahun 2004 lalu. Pihak Ical memandang pengembalian penghargaan bahkan bisa menjadi ajang promosi untuk mempopulerkan Bakrie Award.
Sementara melalui juru bicaranya Lalu Mara, Aburizal Bakri menyatakan menghormati sikap Goenawan Mohammad tersebut. "Itu merupakan kebebasan individu untuk mengambil sikap. Kita pasti ada sepakat untuk tidak sepakat. Pak Ical menghormati," kata Lalu.
Terkait dengan Sri Mulyani, Lalu membantah tudingan bahwa Ical ada dibalik pengunduran diri Sri Mulyani dari menteri Keuangan."Terkait Sri Mulyani, dari dulu Pak Ical selalu katakan tidak ada masalah. Kakaknya Bu Sri Mulyani staf ahli Pak Ical waktu di Menko Kesra. Cara pandang beda itu biasa," sahutnya.
Awas, Doa Korban Lapindo Mujarab!
Masalah lumpur Lapindo adalah derita rakyat jelata yang hingga kini masih belum tuntas. Ratusan Kepala Keluarga nasibnya masih terkatung-katung. Mereka adalah warga negara Indonesia yang kini harus hidup dalam kesengsaraan bathin maupun lahir. Siapa yang seharusnya bertanggungjawab pada nasib para korban tersebut?
Goenawan Mohammad ternyata sangat peduli pada mereka. Investigasi Tempo, artikel-artikel yang dimuat, dan sentilan tajam "Catatan Pinggir"-nya menohok tepat ke jantung para penanggungjawab kasus lumpur Lapindo. Sebuah perjuangan insan pers dan para penulis artikel yang idealis dan peduli rakyat tertindas, terakumulasi dengan jelas di sini.
Tersingkirnya Sri Mulyani, sang Kampiun Putri Indonesia masa kini dari Kabinet Indonesia Bersatu, juga merupakan alasan Goenawan Mohammad mengembalikan Bakrie Award. Siapa pun tahu, atau paling tidak menduga-duga, bahwa dalang dibalik semua itu adalah Abu Rizal Bakrie sang pengusaha yang politikus. Goenawan Mohammad, tidak akan segampang itu menuding, kecuali bila ditangannya sudah ada bukti-bukti yang didukung fakta.
Terlebih lagi, upaya Abu Rizal Bakrie untuk melemparkan kesalahan perpajakan yang "digembol"-nya kepada bawahannya; telah membuat Goenawan Mohammad memberikan yang terbaik bagi Ibu Pertiwi yakni: mengembalikan penghargaan yang dia peroleh dari lembaga yang dinaungi Abu Rizal Bakrie. Tidak tanggung-tanggung, bukan sekedar piagam dan trophy yang dikembalikan, namun juga lengkap dengan rupiah yang pernah dia terima masih ditambah lagi dengan bunganya, senilai total lebih dari Rp 154 Juta.
Barangkali, langkah positif dan berani dari Goenawan Mohammad ini akan menjadi titian awal datangnya musibah bagi para penanggungjawab bencana lumpur Lapindo. Tuhan tidak pernah mengingkari janji-Nya. Dia akan mengabulkan doa orang yang teraniaya. Selain para korban Lapindo, Sri Mulyani Indrawati mantan Menteri Keuangan kita juga termasuk orang yang teraniaya.
0 komentar:
Posting Komentar
TULIS KELUHAN ANDA DI SINI