Ini cerita tenS5035549tang dunia jabatan dan budaya para pejabat di Indonesia.Setidaknya yang ada di Trenggalek,dimana saya kebetulan mulai masuk ke dunia itu. Sungguh, sebelumnya tak terbayangkan apalagi bermimpi untuk menduduki kursi dewan.Tidak pernah. Justru,dalam banyak kesempatan, jika dibolehkan saya sebenarnya menolak untuk dicalegkan.

Nah, memasuki dunia ini dengan ragam budaya-nya, saya terasa seperti orang asing. Beberapa hari yang lewat, para caleg terpilih mendapat undangan untuk datang ke gedung dewan dengan satu agenda : mengambil ukuran baju seragam dewan. Bersama rekan caleg PKS yang lain, saya pun datang. Setelah ukuran saya diukur, saya sempatkan ngobrol dengan kawan-kawan dari sekwan. Ya, itung-itung untuk memulai berkenalan biar akrab.

Dari obrolan ngalor ngidul, terungkap bahwa sang penjahit yang “mborong” pakaian caleg terpilih ini adalah dari Surabaya. Wah…! Muncul naluri “jurnalistik” yang nampaknya susah dihilangkan : weleh..weleh…emang di Trenggalek ndak ada penjahit ? Pertanyaan itupun akhirnya saya utarakan. “Ini penjahit yang biasa njahit baju para pejabat.Pak bupati,pak gubernur,semuanya penjahit ini.Jadi,standar,pak.Kalau penjahit lokal,kadang jahitannya kurang bagus.Dan kami nanti yang dikomplain,” ujar orang disamping saya ini.

Kali pertama menjejakkan kaki di gedung dewan,saya seperti orang asing.Ndak masuk di logika saya : kenapa soal njahit baju yang itu berasal dari APBD rakyat Trenggalek,harus ngambil penjahit luar kota? Oke lebih baik. Tapi, bukankah asas manfaat harus diutamakan? Jadi,seberapa fatal-kah kalau ini ditangani penjahit Nggalek sendiri?

Diam-diam saya teringat sabda Nabi : “ Fa thuba lil ghuroba’ (berbahagialah orang yang asing). Wallahu a`lam.

Foto : Ini baju jahitan wong nggalek.Bagus dan enak dipakai..he..he…