Tampilkan postingan dengan label Geliat Kawula Alit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Geliat Kawula Alit. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 Oktober 2011

Selasa, 16 November 2010

Mengenang Mbah Maridjan

Ada banyak artikel tentang Mbah Maridjan yang meninggal dunia akibat letusan Gunung Merapi; Namun saya sangat tertarik dengan artikel yang satu ini. Bukan saja karena sang Penulis artikel adalah sosok yang saya kagumi, namun bobot tulisannya memang berbeda dengan yang lain yang sudah saya baca. Maka demi mengenang Mbah Maridjan, dan menghormati sang Penulis, saya beranikan diri juga untuk ikut serta mengarsipkan artikel berikut yang ditulis oleh Goenawan Mohamad, dengan judul : Maridjan.

marijan1
Mbah Maridjan: sebuah pertanyaan. Ia tewas di tempatnya bertugas di Gunung Merapi, karena ia sejak lama menolak turun menghindar dari letusan yang telah berkali-kali menelan korban itu. Kesetiaannya mengagumkan, tapi apa arti tugas itu sebenarnya?

Ia, meninggal dalam usia 83, mungkin sebagai pelanjut dari alam pikiran yang dikukuhkan Kerajaan Mataram sejak abad ke-17. Ia pernah bercerita, Merapi adalah tempat terkuburnya Empu Rama dan Permadi, dua pembuat keris yang ditimbuni Gunung Jamurdipa karena telah mengalahkan dewa-dewa. Kedua orang itu tak mati. Mereka hidup, menghuni gunung yang kemudian disebut Merapi itu-yang jadi semacam keraton para arwah. Dan ke sanalah Raja Mataram (Islam) pertama, Panembahan Senapati (1575-1601), mengirim juru tamannya yang berubah jadi raksasa. Si raksasa diangkat sebagai “Patih Keraton Merapi”, dijuluki Kiai Sapujagat. Dengan itu, Panembahan Senapati, yang dikisahkan mempersunting Ratu Laut Selatan, menunjukkan bahwa kuasanya juga membentang ke arah utara. Dan di situlah pelanjut Kerajaan Mataram, atau Yogyakarta sejak abad ke-19, mengangkat orang untuk jadi kuncen Merapi.

Maridjan, yang biasa dipanggil “Mbah”, sejak 1982 diangkat Hamengku Buwono IX untuk tugas itu. Betapa penting kehormatan itu bagi si jelata yang lahir di Dukuh Kinahrejo di kaki Merapi itu. Ia menyandang gelar kebangsawanan “Raden”; nama resminya Surakso Hargo.

Tapi ia tak tunduk kepada raja yang sekarang, Hamengku Buwono X. Dalam majalah National Geographic yang terbit Januari 2008, (”Living with Volcanoes”, tulisan Andrew Marshall), disebutkan bagaimana Maridjan menganggap HB X membiarkan para pengusaha mencopoti jutaan meter kubik batu dan pasir dari tubuh Merapi. Juga dikatakan Sri Sultan enggan ikut dalam upacara nyadran ke Kiai Sapujagat, ketika makanan, kembang, kain, dan potongan rambut serta kuku raja dipersembahkan untuk melestarikan hubungannya dengan Keraton Merapi.

Agaknya Maridjan tak mengerti, HB X ada di alam pikiran yang berbeda. Sri Sultan, yang dalam National Geographic digambarkan mengisap lisong Davidoff dan suka setelan Armani, mengatakan: “Sebuah bangsa yang besar tak dapat dibangun di atas mithos yang pesimistis.”

Modernitas memang berangkat dengan optimisme. Ia bertolak dari keyakinan manusia bisa melepaskan diri dari alam sekitarnya. Dengan jarak itu, ia sanggup mengendalikan dunia. Fisika, geografi, ilmu kimia, dan juga teknologi bertumbuh terus dari kesanggupan menaklukkan bumi. Kesadaran modern menganggap alam sebagai materi yang mati. Tak ada peri menghuni samudra, tak ada raksasa menjaga Merapi.

Di abad ke-18, di Jerman, penyair Schiller menyebut arus modern ini sebagai die Entgtterung der Natur, “lepasnya dewa-dewa dari alam”. Tapi tak hanya di Jerman di zaman Schiller dan Goethe tumbuh kesadaran hilangnya sifat yang magis dari alam. Animisme, yang menganggap benda-benda sekitar punya sukma, tergusur di Yunani sejak Sokrates dan Plato. Sejak abad ke-5 Sebelum Masehi, rasionalitas disambut. Sokrates tak menyukai mereka yang bekerja hanya berdasarkan “naluri”. Plato tak menghendaki penyair yang memandang alam sebagai sesuatu yang senyawa dengan manusia.

Tak dapat dilupakan: alam jadi mati, sebagaimana animisme terusir, sejak monotheisme ditegakkan. Pada mulanya adalah agama Yahudi. Yahweh adalah Tuhan yang “cemburu”, demikian disebut dalam Perjanjian Lama. “Janganlah ada padamu allah lain di hadapan-Ku”, begitu sabda-Nya. Maka sebagaimana orang-orang penyembah patung lembu dibinasakan, segala sikap yang menganggap benda apa pun sebagai sesuatu yang punya anima dianggap menyembah berhala.

Monotheisme yang mengharamkan animisme itu berlanjut dalam agama Kristen dan Islam. Pada satu titik, agama Ibrahim ini bertemu dengan semangat modern: saat “lepasnya dewa-dewa dari alam”. Tak mengherankan bila tendensi anti-takhayul tumbuh misalnya di kalangan Muhammadiyah, yang lazim disebut sebagai pembawa modernitas dalam Islam di Indonesia. Tak mengherankan bila orang Muhammadiyah (seperti halnya HB X) cenderung menampik adat nyadran di Merapi dan di mana saja. Nyadran adalah pemberhalaan.

Tapi ada yang sebenarnya hilang ketika adat itu disingkirkan. Max Weber, sosiolog itu, telah termasyhur dengan telaahnya tentang proses hilangnya yang “magis” dari dunia, yang terjadi sejak modernitas berkembang biak. Manusia sejak itu hanya menggunakan “akal instrumental”, memperlakukan alam sebagai sesuatu yang bisa diperalat, dengan hasil yang bisa diarahkan. Dunia modern dan kerusakan ekologi cepat bertaut.

Yang tak disebutkan Weber: agama-agama pun kehilangan kepekaannya kepada yang sesungguhnya mendasari iman-kepekaan kepada yang menggetarkan dari kehadiran Yang Suci, yang dalam kata-kata Rudolf Otto yang terkenal disebut sebagai mysterium, tremendum, et fascinans. Yang Suci membangkitkan pada diri kita rasa gentar dan takjub karena misterinya yang dahsyat. Tapi ketika alam dipisahkan dari Yang Suci (karena tak boleh di-”sekutu”-kan), Tuhan pun berjarak. Ia tak membuat kita luruh. Kita hanya berhubungan dengan-Nya lewat hukum. Tuhan pun mudah ditebak. Hukuman dan pahalanya dapat dikalkulasi.

Maka ketika gunung meletus dan tsunami menggebuk, mereka yang merasa bisa memperhitungkan maksud Tuhan dengan cepat bisa menjelaskan: bencana itu azab, ia terjadi untuk tujuan tertentu. Dalam hal ini agama mirip dengan ilmu-ilmu yang merasa bisa menjelaskan & menguasai alam-dan membuat manusia bersujud kepada Tuhan yang sebenarnya tak akrab.

Saya kira Mbah Maridjan meninggal dengan bersujud kepada Tuhan yang sama. Tapi Tuhan itu masih membuatnya gentar, takjub, dan bertanya.
9 November 2010
*) foto diambil dari SINI

Related Posts with Thumbnails
Baca Lanjutannya - Mengenang Mbah Maridjan

Senin, 15 November 2010

Generasi Muda di RT-ku.. Semoga Jadi Generasi Yang Mukmin dan Brillian

Ini adalah foto-foto dari generasi RT 27 RW 12 Desa Sukowetan, Kecamatan Karangan, Kabupaten Trenggalek, Propinsi Jawa Timur, Indonesia.

Linda, Indah, Putri, Fitri (3/12-2010)
Ibuku dan Anisa
Dian Ramadhani & Bela Andhini Shafira


Brian Adam Pangestu

Mereka serius ikuti les tambahan di RT 27

Related Posts with Thumbnails
Baca Lanjutannya - Generasi Muda di RT-ku.. Semoga Jadi Generasi Yang Mukmin dan Brillian

Sabtu, 06 November 2010

Pemkab Berhutang Pada PDAM
Pembayaran Dulur-ulur!

Sertifikat Utang Negara (SUN) yang diterbitkan oleh negara kita -Indonesia- nilainya trilyunan. Ketika SUN ditawarkan, sudah pasti banyak para investor berduit yang segera berebut untuk membelinya. SUN diterbitkan dengan jaminan "Ibu Pertiwi", jelasnya kekayaan negeri kita menjadi jaminannya. Setiap jatuh tempo, pasti akan dibayarkan kepada mereka yang memegang SUN! Tapi, bagaimana jadinya bila pemerintah daerah, seperti pemerintah Kabupaten Trenggalek, berhutang pada suatu badan usaha? Ternyata pembayarannya diulur-ulur namun tanpa ada negosiasi perhitungan yang biasa dilakukan dalam dunia bisnis! Simak saja berita ini.

Perusahaan Air Minum Daerah(PDAM) Trenggalek, Jawa Timur, harus menanggung utang program bantuan air bersih untuk masyarakat korban bencana kekeringan tanggungan Pemkab Trenggalek senilai Rp 35 juta yang sampai saat ini belum terbayar. Jumlah tersebut adalah akumulasi satu tahun sejak pertengahan Oktober 2009 lalu.

Pelaksana tugas(plt) Direktur PDAM Trenggalek Suprapto dikonfirmasi wartawan membenarkan bahwa beban utang Pemkab Trenggalek kepada PDAM berasal dari air bersih yang dikirimkan ke wilayah Kecamatan Watulimo. "Waktu itu ada kekeringan. PDAM mengirim air atas permintaan Pemkab," aku Suprapto.

Menurut Suprapto PDAM sudah beberapa kali menanyakan masalah piutang tersebut kepada Pemkab Trenggalek. Namun pihak eksekutif terkesan menghindar dan Nampak berusaha mengulur-ulur dengan memberikan jawaban yang tidak pasti. "Sudah sering kali. Hasilnya nihil." Kata Suprapto.
 
Walaupun sebenarnya tidak terlalu besar, tunggakan utang Pemkab Trenggalek tersebut sangat berpengaruh pada kondisi keuangan PDAM. Salah satu imbasnya gaji karyawan PDAM Trenggalek dalam satu tahun terakhir terganggu. "Lha gimana. Wong sebagian biasanya untuk biaya rutin kok. Kalaua mandek otomatis kan menganggu," ujar Suprapto.

Kerap kali lanjut Suprapto gaji seluruh karyawan PDAM yang saat ini berjumlah sekitar tujuh puluh orang tak terbayarkan. Hanya saja molornya gaji tidak melebihi satu bulan anggaran berjalan. "Apapun namanya jelas itu sangat merugikan PDAM," tukasnya.
 
Guna menutupi masalah tersebut Suprapto mengaku pihaknya harus mencari pinjaman berbunga ke beberapa lembaga lain. Dan bahkan terkadang terlebih dulu harus mengeluarkan kocek pribadi walaupun sifatnya hanya sementara. "Kami lakukan semua ini demi lancarnya operasional PDAM, kalau tidak begitu kasihan konsumen," tandasnya.

Lebih dari itu dampak utang Pemkab Trenggalek kepada PDAM yang sampai saat ini belum terbayar, iuran Jamsostek karyawan kerap kali tidak terbayarkan. Begitu pula dana pensiun. "Kalau tetap seperti ini PDAM bisa kolaps," jelasnya.
 
Ditambahkan Suprapto, selama ini dalam sebulan biaya operasional PDAM Trenggalek mencapai lebih dari Rp 175 juta. Dana tersebut biasanya tercover dari hasil penjualan air bersih di seluruh wilayah Kabupaten Trenggalek. "Biasanya begitu. Tapi kalau uangnya nunggak seperti ini jelas ndak bisa normal," imbuhnya.

Sementara itu Kabag Humas Pemkab Trenggalek Yoso Mihardi dikonfirmasi sejumlah wartawan mengaku seluruh utang air bersih tersebut kini dibebankan kepada Dinas Permukiman dan Kebersihan(Perkimsih). Hanya saja kapan realisasi pembayarannya masih belum bisa dipastikan. "Masalah itu sudah kami bahas kok. Solusinyapun sudah adam" belanya.(prigibeach).
Related Posts with Thumbnails
Baca Lanjutannya -
Pemkab Berhutang Pada PDAM
Pembayaran Dulur-ulur!

Kamis, 04 November 2010

Duka Untuk Mentawai, Semoga Lekas Berlalu

Bencana alam apapun wujudnya akan selalu meninggalkan bekas yang teramat sukar dilupakan bagi para korbannya. Terlebih lagi gempa bumi yang berkekuatan hingga 7,2 Skala Richter, yang kemudian disusul dengan gelobang tsunami, seperti yang dialami oleh saudara-saudara kita di Kepulauan Mentawai. Gelombang air laut atau tsunami akibat gempa 7,2 Skala Richter yang mengguncang Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat, mencapai tinggi sekitar 12 meter. Semoga, para korban yang meninggal dunia mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah, Tuhan Seru Sekalian Alam. Serta bagi keluarga yang selamat, bisa menerima keadaan dengan penuh kesabaran dan keteguhan iman. Semoga uluran kasih sayang dari para dermawan dan mereka yang peduli, serta mereka yang mampu memberi bantuan, dapat mengurangi penderitaan saudara-saudara korban bencana alam. Amin.

Berikut ini, ada  tujuh foto peristiwa tsunami tersebut, yang saya ambil dari sumber utama yahoo dan berbagai sumber lain sebagai pelengkap dan illustrasi.




Gelombang yang dahsyat ini sungguh mengerikan




Jejak tinggalan bencana tsunami yang dahsyat ini sungguh mengerikan


Penduduk yang selamat berjalan melintasi daerah yang disapu tsunami
di Pagai Utara, Kepulauan Mentawai. (AP Photo/Setwapres)
Rombongan Wakil Presiden Boediono
mengamati kantong jenazah para korban tsunami di Pagai Utara.
(AP Photo/Setwapres)
Seorang perawat memeriksa bayi
di klinik darurat Sikakap, Kepulauan Mentawai. (AP Photo)
Pandangan udara sebuah desa yang hancur dua hari setelah tsunami
menghantam Pulau Pagai, Kepulauan Mentawai, Sumbar, Rabu (27/10).
Badan Penangulangan Bencana Daerah Sumbar
menyebutkan korban tewas 282 orang s
edangkan jumlah warga dilaporkan hilang 411 orang,
korban luka berat tercatat 77 orang dan luka ringan 25 orang.
(Antara/Setwapres)
Kondisi Desa Pasapuat, Dusun Saumanganya,
Kecamatan Pagai Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai
pascagempa 7,2 SR disertai gelombang tsunami, Senin (27/10).
Tsunami juga terjadi di kecamatan Pagai Selatan dan Kecamatan Sikakap.
(Antara/Rapot Pardomuan)
Kondisi Desa Pasapuat, Dusun Saumanganya, Kecamatan Pagai Utara,
Kabupaten Kepulauan Mentawai. (Antara/Rapot Pardomuan)
Dua warga Australia Daniel Scanlan, kiri, dan rekannya yang terluka
Robert Marino, saat tiba di pelabuhan Padang, Rabu (27/10).
Mereka tengah berada di atas perahu sewaan, masih di tepi pantai,
saat tsunami menyerbu. (AP Photo/Achmad Ibrahim)
Related Posts with Thumbnails
Baca Lanjutannya - Duka Untuk Mentawai, Semoga Lekas Berlalu

Kamis, 28 Oktober 2010

Merdeka Atau Mati!!! Berevolusi : Hidup Atau Mati!!!

Pemuda yang lahir dan hidup sebelum Indonesia Merdeka, memiliki semangat baja, berani dan tidak takut mati. Karena itu, di tengah todongan senjata para penjajah, mereka tidak takut mendeklarasikan Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928. Dan, pada tanggal 17 Agustus 1945, Pemoeda Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia!

Para pemoeda kala itu, punya yel-yel yang sangat luar biasa. Darah mereka sungguh-sungguh Merah dan jiwa mereka Putih! Merah Putih, tergabung dalam jasad pemoeda zaman itu. Kita merdeka karena heroisme mereka, mereka yang berani memekikkan salah satu yel paling digemari dalam tiga patah kata yakni, "Merdeka ataoe Mati!!!"

Bagaimana dengan pemuda-pemuda kita yang hidup di zaman merdeka ini??? Adakah yang bersemangat meneriakkan "Merdeka atau Mati!!!" Sudah pasti, tidak ada, sebab kita sudah merdeka. Sekarang pekik itu berganti dengan pekik yang lebih heorik "Hidup atau Mati!!!" Tidak percaya??? Lihat saja foto-foto berikut ini:
Related Posts with Thumbnails
Baca Lanjutannya - Merdeka Atau Mati!!! Berevolusi : Hidup Atau Mati!!!